PERUBAHAN IKLIM DAN TAMAN NASIONAL
Lulut D. Sulistyaningsih (Staff Herbarium Bogoriense,Pusat Penelitian Biologi LIPI )
Jika suatu hari nanti bumi terasa sangat panas dan terjadi kekeringan di beberapa daerah tertentu di musim penghujan, kita harus waspada dan hati-hati karena hal tersebut kemungkinan merupakan dampak awal dari adanya perubahan iklim. Kita sadari atau tidak, saat ini saja suhu bumi semakin terasa panas dan iklim pun sudah tidak menentu lagi. Oleh karena itu, mau tidak mau perubahan iklim merupakan tantangan yang paling serius yang akan kita hadapi pada abad 21.
Pengertian Perubahan Iklim
Seringkali orang salah menginterpretasikan perubahan iklim sama dengan pemanasan global, padahal keduanya merupakan dua hal yang berbeda. Perubahan iklim merupakan perubahan variabel iklim, khususnya suhu udara dan curah hujan yang terjadi secara berangsur-angsur dalam jangka waktu yang panjang antara 50 sampai 100 tahun atau yang biasa disebut dengan inter centenial (Anonim, 2004). Sedangkan pemanasan global merupakan peningkatan temperatur rata-rata atmosfer, laut, dan daratan bumi. Adapun dampak nyata dari pemanasan global adalah terjadinya perubahan iklim yang ekstrim (Kartiwa, 2007).
Penyebab Terjadinya Perubahan Iklim
Faktor-faktor alam seperti fenomena bertambahnya aerosol akibat letusan gunung berapi, siklon yang dapat terjadi didalam suatu tahun (inter annual), El-Nino dan La-Nina yang bisa terjadi di dalam sepuluh tahun (inter decadal) tidak masuk dalam kriteria peruabahan iklim global. Pada dasarnya perubahan iklim disebabkan oleh aktivitas manusia, khususnya yang berkaitan dengan penggunaan bahan fosil dan alih guna lahan (Anonim, 2004).
Aktivitas manusia secara langsung maupun tidak langsung dapat menyebabkan perubahan serius pada komposisi atmosfir secara global. Hal ini disebabkan karena beberapa aktivitas manusia dapat menyebabkan meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca secara signifikan di atmosfer. Dengan naiknya temperatur rata-rata bumi atau yang biasa disebut dengan pemanasan global dapat menyebabkan perubahan variabel iklim suhu udara dan curah hujan. Adapun jenis-jenis gas yang digolongkan sebagai gas rumah kaca adalah:
1. Karbondioksida (CO2)
CO2 merupakan gas rumah kaca utama, jumlahnya mencapai 80% dari keseluruhan gas rumah kaca. Gas ini berasal dari pembakaran bahan bakar fosil, seperti minyak bumi, batu bara, dan gas alam. Selain itu penebangan hutan juga turut andil dalam menyumbang gas CO2, karena pada saat pohon ditebang, pohon yang berfungsi sebagai penyerap karbon akan melepaskan CO2.
2. Metan (CH4)
Areal persawahan, pelapukan kayu, timbunan sampah proses industri, dan eksploitasi bahan bakar banyak menyumbangkan jenis gas ini. Adapun sumber utama emisi metan adalah persawahan. Lebih dari 90% metan yang terlepas dari areal persawahan ke atmosfer berasal dari tanaman padi (Dyah, 2007).
3. Nitrous Oksida (N2O)
Gas rumah kaca yang satu ini berasal dari kegiatan pemupukan oleh para petani, transportasi, dan proses industri.
4. Hidroflourkarbon (HFCs)
Jenis ini berasal dari sistem pendingin, foam, pelarut, dan pemadam kebakaran.
5. Perflourokarbon (PFCs)
PFCs berasal dari proses-proses industri
6. Sulfurheksa Flourida (SF6)
Seperti halnya dengan PFCs, SF6 juga dihasilkan dari proses industri.
Proses Terjadinya Perubahan Iklim
Pada prinsipnya proses terjadinya perubahan iklim diawali dengan masuknya radiasi matahari yang kemudian terjebak di dalam atmosfir karena adanya gas rumah kaca (efek rumah kaca). Gas rumah kaca tersebut akan meneruskan radiasi gelombang panjang yang bersifat panas, sehingga suhu dipermukaan bumi akan naik dan menjadi semakin panas dimana laju peningkatan panasnya berbanding lurus dengan laju perubahan konsentrasi gas rumah kaca. dengan laju perubahan konsentrasi gas rumah kaca.
Dampak Perubahan Iklim Bagi Indonesia
Secara umum, kawasan Asia merupakan kawasan yang akan mendapat dampak paling parah akibat terjadinya perubahan iklim. Menurut Widhiyanti (2007), beberapa dampak perubahan iklim yang dapat terjadi di Indonesia antara lain:
Bila terjadi kenaikan suhu rata-rata global sebesar 1.5-2.5oC, kemungkinan akan terjadi punahnya 20-30 jenis flora dan fauna.
Tingkat keasaman laut akan meningkat dengan bertambahnya CO2 di atmosfer. Hal ini akan berdampak negatif pada organisme laut seperti terumbu karang dan organismo-organisme yang hidupnya bergantung lepada terumbu karang.
Daerah pantai akan semakin rentan terhadap erosi pantai dan akan terjadi naiknya permukaan air laut.
Rata-rata aliran air sungai dan ketersediaan air di daerah subpolar dan daerah tropis basah diperkirakan akan meningkat sebesar 10-40 %.
Produktivitas pertanian akan mengalami penurunan, sehingga meningkatkan resiko terjadinya bencana kelaparan
Komunitas miskin sangat rentan karena kapasitas beradaptasi yang terbatas dan ketergantungan hidup terhadap sumberdaya yang mudah terpengaruh oleh iklim seperti persediaan air dan makanan.
Keberadaan Taman Nasional di Indonesia
Sebagai negara dengan julukan megabiodiversity, kita wajib bersyukur karena negara kita dianugerahi dengan melimpahnya kekayaan flora, fauna, dan mikroorganisme. Luas hutan di Indonesia mencapai 120,3 hektar dan telah menjadikan negara kita sebagai salah satu negara dengan hutan terbesar di dunia. Sebanyak 60 % dari luasan tersebut dijadikan hutan produksi, 23 % sebagai hutan lindung dan sisanya yaitu 17 % merupakan hutan konservasi (FWI, 2001). Di kawasan konservasi tersebut, sebagian besar kekayaan yang Indonesia miliki hidup tersebar, baik di daratan (hutan alam) maupun perairan yang telah menjadi laboratorium alam bagi para peneliti baik dalam maupun luar negeri. Kawasan ini terdiri atas kawasan suaka alam (cagar alam dan suaka margasatwa), kawasan pelestarian alam (taman nasional, taman wisata alam, dan taman hutan raya), dan taman buru yang luas arealnya mencapai 28.26 juta hektar (Rais et al., 2007).
Kekayaan alam tersebut akan osial maupun ekonomi bila kita mampu memelihara dan menjaganya dengan baik. Dalam hal ini kawasan taman nasional memegang peranan yang strategis, kaitannya dengan upaya konservasi sumber daya alam dan pengembangan ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan keanekaragaman, keindahan, dan keajaiban fenomena alam serta jasa lingkungan yang terkandung di dalamnya. Sampai saat ini 50 taman nasional yang luasnya mencapai 16.38 hektar telah dimiliki oleh Indonesia. Taman nasioanal tersebut mencakup keterwakilan semua tipe ekosistem di tujuh wilayah bio-geografi pulau di Indonesia yang meliputi Sumatera, Jawa dan Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, serta Papua. Dalam rangka menunjang kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, serta untuk menunjang budidaya, kebudayaan, dan pariwisata/rekreasi alam, taman nasional dikelola dengan menggunakan sistem zonasi dimana penataan kawasan yang ada di taman nasioanl didasarkan pada fungsi dan pemanfaatnya sesuai kondisi, potensi, dan perkembangan yang ada (Rais et al., 2007). memberikan keuntungan bagi Indonesia baik secara sosial maupun ekonomi bila kita mampu memelihara dan menjaganya dengan baik.
Peranan Taman Nasional Dalam Mengantisipasi Perubahan Iklim
Sebagai kawasan konservasi, taman nasional mempunyai aspek strategis kaitannya dengan banyaknya fungsi yang disandang taman nasional berkenaan dengan terselenggaranya berbagai proses ekologis dan kemampuan memberikan manfaat melalui berbagai produk jasa lingkungan yang sangat dibutuhkan makhluk hidup. Salah satu manfaat ekologis yang dimiliki kawasan taman nasional adalah nilai guna tidak langsung (indirect use values). Nilai guna ini mencakup manfaat fungsional dari proses ekologis yang secara terus-menerus mampu memberikan peranannya kepada masyarakat dan ekosistem serta tidak mudah untuk dikuantifikasi, antara lain berupa pengendalian banjir, penyediaan sumber air, perlindungan badai, siklus nutrisi, pendukung kehidupan global berupa penyerapan karbon/polutan, pengendalian perubahan iklim, dan menjaga kesehatan manusia (Rais et al., 2007).
Berkaitan dengan nilai guna diatas khususnya nilai guna tidak langsung sebagai pengendali perubahan iklim, taman nasional tentunya bekerjasama dengan beberapa instansi terkait seperti Departemen Kehutanan diharapkan dapat berperan secara aktif untuk menekan bahkan sampai pada tingkat menghentikan laju deforestasi. Dengan ditekannya laju deforestasi berarti telah turut menghambat terjadinya peubahan iklim karena disadari atau tidak sebagian besar emisi rumah kaca bersumber dari deforestasi. Gerakan konservasi dan penanaman pohon yang berkelanjutan juga dapat mengantisipasi perubahan iklim, karena setiap pohon akan mampu menyerap CO2 sehingga dapat mengurangi konsentrasi Co2 di atmosfer. Selain itu langkah insentif finansial baik dalam skala nasional dan internasional untuk memperluas areal hutan, mempertahankan kelestarian hutan, mengawasi regulasi lahan dan penegakan regulasi tersebut perlu terus digalakkan. Apalagi ditunjang dengan adanya CDM (Clean Development Mechanism) yang merupakan salah satu mekanisme dalam Protokol Kyoto dibawah Konvensi Perubahan Iklim (United Nation Framework Convention on Climate Change UNFCCC), dimana Indonesia telah meratifikasi UNFCCC tersebut dan telah menetapkan definisi hutan, serta Komisi Perubahan Iklim pun telah terbentuk maka Indonesia berhak mengajukan kegiatan mekanisme CDM. Gerak aktif civitas taman nasional yang diikuti oleh masyarakat diharapkan dapat menjadi salah satu jalan dalam upaya menghambat terjadi perubahan iklim. Bersama Kita Hambat Perubahan Iklim
0 komentar:
Posting Komentar